-Muurand togloom, hulgand ukhel-

“Lelucon sang kucing adalah kematian si tikus”

Seminggu ini kalimat itu yang menjadi inspirasi hobby lama ku mempelajari sejarah dunia, khususnya mengenai para penguasa, sebuah kalimat yang merupakan adagium mongol yang menggambarkan kekuatan penaklukan oleh sang maha Khan, Jenghiz Khan.

Kalimat itu mungkin menggambarkan bagaimana, sebuah penaklukan adalah dua sisi mata uang yang saling bertolak belakang. tapi apakah selalu demikian? menilik tegap langkah pasukan bangsa Saracens di bawah panji jihad Sultan Saladin/Sallahudin Al-ayubi yang melintasi 2 benua, dimulai dari Mesir menuju kerajaan perpaduan 3 agama Jerusalem, (tuk beberapa rekan pecinta film kolosal tentunya tak melewatkan sajian tayangan “Kingdom of Heaven”), but more than that, apakah Salladin juga masuk kategori seorang Penakluk/Conqueror? or How about Attila satu lagi sosok tangguh dari bangsa nomaden ras perpaduan Mongol, Eropa dan Turki, seorang pemimpin yang berambisi menaklukan konstantinopel karena keyakinannya atas tanda-tanda magis yang diperolehnya, atau niatan Klan Wallace yang awalnya mempertahankan Irlandia, lalu kemudian menginvasi Inggris agar dapat merdeka sepenuhnya? Serta awal penyatuan Dinasti China (Dinasti Jin) oleh bangsa Sun Quan dari Wu pasca Aliansi nya dengan kesatria Shu (perpaduan dua  2 ahli strategi terbesar Zhuge Liang dibawah komando Liu Bei dan Zhou Yu) ketika menghalau penaklukan oleh Panglima Cao Cao dari bangsa Wei.

Dalam harga diri bangsa Mongol, berperang adalah menghancurkan dan menciptakan teror, sebuah paradigma yang berawal dari sebuah keinginan tuk membuktikan, bahwa bangsa yang dianggap barbar mampu menjelma menjadi bangsa berbudaya namun kuat, bahkan dinasti China kala itu harus membayar upeti kepada bangsa nomaden tersebut. Tentunya berbeda dengan upaya pasukan Mesir dalam mencapai cita cita kedamaian di Jalan Sutra menuju Jarusalem. Atau mungkin pandangan Montezuma dalam mengambil pilihan melawan logam panjang Pikeman bangsa spanyol di tanah Amerika.. then.. what the real means of Conqueror?

Plato said “For a man to conquer himself is the first and noblest of all victories” yang jika saya tak salah menerka, inilah pemikiran itu yang mungkin menjelma sebagai landasan Alaxander the Great untuk berani menembus benua Asia menuju India. Satu lagi definisi yang agak berbeda walau tetap dapat memberi makna yang serupa, El Campeador “means in Spanish something more special than championsebuah cuplikan dari Wikipedia untuk menggambarkan sosok El Cid penakluk Spanyol dan Andalusia, dimana Champion kala itu means fight, dalam kehidupan saat ini makna “Champion” memang telah bergeser, tetapi bukan tidak mungkin definisi lama kembali bangkit.

Ditengah paradigma Conquest identik dengan Kekuatan dan Armada Tempur, mungkin Ada melihat beberapa hal berikut yang dapat dijadikan rujukan dalam berpikir…

Seorang Dalai Lama mampu menaklukan dengan pola fikirnya hingga di kenal melewati pegunungan Tibet, Mahatma Gandhi yang menata prilaku menjadi senjata yang menggetarkan musuh, serta tulisan Shakespeare kala menata kata dalam “Troilus dan Cressida“, Hingga Sosok karakter karya Kharil Gibran membuka mata yang terlelap kala masa penaklukan

…Kasihan bangsa yang tidak pernah angkat suara

kecuali jika sedang berjalan di atas kuburan,

tidak sesumbar kecuali di reruntuhan, dan tidak

memberontak kecuali ketika lehernya sudah

berada di antara pedang dan landasan…

Kahlil Gibran. Cinta, Keindahan, Kesunyian.

Sebuah sosok Penakluk, butuh lebih dari sekedar tangan yang tanggung tuh mengayunkan pedang, tusukan tombak, ketepatan anak panah, kekokohan benteng serta kesesuaian mematik mortar dan presisi hulu ledak. More than that !!! They need faith dan keyakinan itu yang bisa memberikan semangat lebih bagi kendaraan perangnya. Menjadi seorang penakluk yang berhasil bukan sekadar ditentukan oleh sampai sejauh mana prestasi yang bisa diraih,tetapi juga oleh kemanfaatan yang bisa diwariskan kepada generasi selanjutnya.

Tesis Hobbesis, homo homini lupus tentunya tidak selalu menjadi landasan hidup yang ideal bagi seorang penakluk.

Bahkan seorang Julias Caesar, tetap mati di tangan senat yang dianggap tak punya kekuatan bertarung dan hanya bisa berdebat, Garnisun pun mudah terpecah kala ia (Cesar) jauh dari tanah Galia.  Sosok Eric the Red akan tetap dipandang sebagai bangsa Viking layaknya bajak laut, jika goresan pena perjalanannya tidak menjadi sebuah sejarah yang terdengar turun temurun, hingga menetapkannya sebagai “the first permanent European settler”, penjelajahannya hingga GreenLand akan menjadi catatan abadi.

Serta satu lagi fakta menarik dari tokoh besar Jepang, sang Tokugawa, Hodeyoshi, ia membesarkan sebuah filosofi “Samurai Tanpa Pedang” dimana pendekatan diplomatis terkadang merupakan jalan yang terbaik, penakluk sekali lagi terbukti bukan hanya pemberang yang kuat, namun pemikir yang humanis, kala ia mengajarkan filosofi mengedepankan akal sehat dan berpikir di luar kotak  (baca sejarah penaklukan kota Asasuka). Ini pula yang menggambarkan bagaimana Pasukan Muslim menggunakan jalur diplomatis perdagangan serta penyebaran himbauan kepada warga sebuah kastil yang tengah terkepung untuk bisa menyerah dengan damai. Atau mungkin yang paling menarik ialah pernikahan Marie Antoniette dengan Raja Perancis Louis XVI.

“prajurit terbaik tidak pernah menyerang, prajurit terhebat berhasil tanpa kekerasan,dan penakluk terbesar menang tanpa perang”.

Sebuah dua sisi mata uang sempat ku singgung di awal tulisan ini, yang tentunya akan semakin tegas terlihat kala disandingkan dengan fakta atas nilai utama perjuangan para penakluk dari sisi kekuatan armada dan kekuatan mengatur diplomasi ialah pada keteguhan terhadap prinsip, berkemauan ekstra, bekerja keras, dan yang terutama tempaan hidup. Sebuah perjuangan yang lahir dari rangkaian perjuangan dan rasa pedih, coba kita sedikit berempati dengan beberapa hal dibawah ini:

  • Air mata Temujin kala sang ayah harus mendahuluinya seakan menjadi bukti kekuatan bangsa Merkit, Serta pengkhianatan Jamuga saudara angkatnya di Sumpah Anda
  • Kesabaran dan pengertian Sang Sultan symbol bangsa Arab Salahudin kala menyetujui gencatan senjata dengan Raja Phillip dan Bailan, serta mempertahankan kota Jerusalem dari “auman” sang titisan singa Raja Richard…
  • Keyakinan Attila kala mendengar ramalan kehidupannya, serta impian tembok megah kota Romawi, serta impiannya pada sang kekasih wanita berambut merah…
  • Impian para panglima pasca runtuhnya dinasti Han (CaoCao, Liu Bei, SunQuan), tuk menjadi sebuah kesatuan yang akhirnya tercapai di tahun 280 M…
  • Kecintaan Rodrigo Diaz de Vivar, terhadap keluarganya di Valencia di masa pengasingan dan bergabung dengan Muslim Andalusia (asal mula diperoleh gelar “El Cid” atau “Al Sid” = pemimpin)…
  • Tempaan hidup Hideyoshi, kemiskinan dengan segala kekurangan (julukan si monyet cukup menggambarkan kekurangannya) yang dipadu dengan keceriannya dan kecerdikannya kala mendampingi sang penguasa Lord Nobunaga dan menaklukan klan Takeda…

Sekelumit rentetan catatan yang telah menjadi sebuah goresan tinta emas dengan perpaduan filosofi peperangan dan paham, yang sedikit banyak juga menggugah para penakluk tanpa pedang… sehingga menarik jika kita melihat bagaimana El Cid sering menyuruh para prajuritnya dan juga dirinya sendiri untuk membaca buku klasik buatan para pengarang Roma, Muslim dan Yunani sebagai inspirasi selama pertempuran berlangsung. Budaya Sultan Salladin dalam berIkhtiar dan mengkaji kitab suci serta Hadist yang disandingan dengan karya filsuf dalam menyusun strategi, dilengkapi fase rehatnya kala memasuki Bulan Suci Ramadhan dan Musim Haji. Termasuk pula banyak  manusia hebat dan sukses yang terkagum serta menginspirasi filosofi Sun Tzu dalam maha karyanya “the art of war”.

Bagi ku ini landasan mengapa tokoh Proklamator Republik  Indonesia (Ir. Soekarno) menyatakan “sumpah Gajah Mada sebagai inspirasi dan “bukti” bahwa bangsa ini dapat bersatu, meskipun meliputi wilayah yang luas dan budaya yang berbeda-beda” di awal masa kemerdekaan, serta menjadi inspirasi bagi Revolusi Nasional Indonesia dari kolonialisme Belanda. sebuah bukti bahwa penaklukan dengan kekuatan dapat berpadu bersama dengan sebuah karya titisan para pujangga ternama hingga memberi inspirasi besar bagi kemerdekaan sebuah bangsa… Yup it us, Indonesian.

So can we learn from the best Conqueror…

*tulisan ini belum mampu menguak ambisi Napoleon, Mussolini, Lenin, Hitler dan lainnya para  penakluk dengan goresan tinta merah yang xtrim… karena memang penulis belum cukup tuk menyelami pola pikir sang maestro seni, layaknya Hitler kala meracik tinta di atas kanvas. One day maybe…

Rasulullah SAW bersabda: “seburuk-buruknya sifat yang ada pada seorang laki-laki adalah tamak karena takut miskin dan lari dari medan perang” (HR Abu Daud)